Kopitalisme dan Budaya dalam Secangkir Kopi

The New Gap

Saat ini kopi bukan lagi sekadar jenis minuman saja, tetapi telah menjelma menjadi suatu gaya hidup dan budaya populer bagi masyarakat.

Ngopi bukan lagi aktifitas yang dilakoni bapak-bapak di pagi hari sebelum berangkat kerja, atau malam hari sebagai teman begadang.

Kopi yang awalnya dijajakan warung kopi (warkop) di kampung-kampung, sekarang telah merambah ke kedai kopi daerah perkotaan, sampai coffee shop di pusat-pusat perbelanjaan high class.

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, minum kopi adalah suatu ritual yang unik. Akhirnya minum kopi pun sudah mulai menjadi gaya hidup, baik bagi kalangan elit, menengah, maupun masyarakat kecil.

Dalam hal ini, kopi telah terbukti berhasil menjangkau berbagai macam segmen konsumen, mulai dari masyarakat biasa, pelajar, mahasiswa, karyawan, CEO perusahaan-perusahaan besar, menteri, bahkan sampai presiden dan kepala negara.

Disamping itu, citra kopi yang identik dengan kaum pria mulai direduksi dengan semakin banyaknya wanita yang menjadi penikmati kopi.

Di banyak tempat dapat dengan mudah dijumpai anak-anak muda, laki-laki maupun perempuan, nongkrong sambil ngopi. Terlebih di daerah sekitar kampus atau perguruan tinggi.

Secara tidak langsung, kopi seperti telah menjadi hidangan wajib dalam setiap diskusi dan rapat mahasiswa.

Dalam sebuah penelitian berjudul Perilaku Ngopi di Kalangan Mahasiswa Sebagai Manajemen Stres, peneliti mengemukakan alasan munculnya kebiasaan ngopi di kalangan mahasiswa,

Ngopi pada awalnya merupakan sebuah aktivitas kaum muda untuk mengisi waktu luang mereka guna melepas kepenatan dari kegiatan rutinitas seharian di kampus. Mereka membutuhkan suasana nyantai dan tenang guna menyegarkan kembali pikiran mereka dengan nongkrong di café atau warung kopi setelah sekian jam berkutat dengan tugas-tugas atau setelah seharian melakukan rutinitas aktifitas.

Seperti layaknya sebuah ritual khusus, kegiatan minum kopi ini membutuhkan tempat yang juga istimewa untuk menikmati kelezatan kopi. Rasanya yang khas dan aromanya yang unik menjadikan kopi sebagai suatu hal yang menarik.

Para penikmat kopi akan benar-benar memilih citarasa kopi yang nikmat dan tempat yang nyaman untuk menikmatinya. Alasan itulah yang biasa dimanfaatkan oleh pengusaha kedai kopi.

Bisa jadi coffee shop bukan lagi sebuah trend musiman. Tetapi memang menjadi budaya baru bagi kaum urban perkotaan.

Pertumbuhan pesat coffee shop di Indonesia seolah sudah mengalahkan pertumbuhan jamur di musim hujan.

Tak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Jogja atau Surabaya, kota-kota kecil sekalipun sudah memiliki banyak sekali gerai kopi yang menjamur meski memiliki standar dan pasar yang berbeda-beda.

Secara ekonomi trend demikian mempengaruhi putaran uang masyarakat dan menggairahkan pasar penjualan produk kopi.

Sedangkan bagi pengusaha kedai kopi, selain menambah peluang usaha baru, banyaknya konsumen dapat menstimulasi makin bervariasinya jenis, rasa, dan kemasan produk kopi serta meningkatkan kreatifitas pemilik usaha dengan meningkatkan sarana, fasilitas dan layanan plus-plus lainnya.

Dalam buku Marketing in Venus, Hermawan Kertajaya menuliskan

Selain kualitas kopi, Starbuck menyediakan tempat yang tenang bagi mereka yang mencari peristirahatan antara rumah dan pekerjaan. Sebuah kebutuhan melarikan diri dari kesibukan rutin.

Sejalan dengan itu, budaya diskusi dan komunitas informal juga diharapkan ikut tumbuh dalam masyarakat seiring bertambahnya penikmat kopi.

Namun perlu diwaspadai juga, merebaknya budaya konsumerisme, budaya instan, budaya hedonis, budaya materialisme akan mempengaruhi perilaku sosial masyarakat.

Menurut Baudrillard (1998) pada dasarnya masyarakat modern dewasa ini telah berubah menjadi masyarakat konsumer, masyarakat yang semakin konsumtif. 1

Konsumsi dalam perspektif Baudrillard bukanlah tentang membeli barang atau produk. Konsumsi di sini lebih dilihat sebagai tatanan pemaknaan dari sebuah objek.

Fenomena demikian menarik, yang dalam pandangan penulis bahwa adanya kecenderungan proses transformasi sosial, dari penekanan kelas ke status sosial, misalnya pemilihan tempat minum kopi.

Tempat-tempat demikian merupakan simbol status sosial dengan penekanan gaya hidup modern.

Menurut Mike Featherstone, konsumsi secara alami telah memberi identitas yang tidak melulu terbatas bagi kaum muda dan kaum kaya, melainkan secara potensial berdampak pada kehidupan setiap orang.

Segala sesuatu adalah mungkin, kita dapat menjadi siapapun yang kita inginkan sejauh telah siap untuk mengkonsumsi, maka yang terjadi adalah estetisasi dalam kehidupan yang semua dicitrakan menjadi yang terbaik.

Minum kopi atau makan tidak lagi subtansi kopi dan makannya yang dicari, tetapi dengan siapa dan apakah tempatnya nyaman, aman, dan bercitra tinggi.

Begitu juga dengan cangkir, piring, layanan dan asesoris lainnya apakah berbeda dengan lainnya, yang diikuti dengan kebiasaan orang-orang sekarang mengupload moment-moment makan dan ngopi tersebut. Hal ini secara tersirat menunjukkan status sosialnya di kalangan teman-teman media sosialnya.

Kecenderungan di dalam estetisasi kehidupan demikian sesungguhnya telah menegaskan proses-proses individualisasi dalam dua tingkatan.

Pertama, terjadi individualisasi di dalam pengertian bahwa sistem nilai yang terbentuk melalui proses penambahan unsur-unsur seni dan keunikan didalam berbagai pola konsumsi dan praktik kehidupan lainnya secara akumulatif menyebabkan terbentuknya nilai-nilai baru kelompok.

Kedua, gaya dan mode seseorang telah memisahkan dirinya dari kelompoknya sendiri, di mana setiap orang dalam kelompok berusaha untuk mencari nilai tambah (value added) dengan cara mengkonsumsi barang yang berbeda dengan orang lain dalam kelompoknya.

Misalnya kesukaan atau hobi dan mengkoleksi atau mempublikasikan barang-barang trendis seperti; akik, pakaian, makanan, dan tempat-tempat ngopi, serta pilihan organisasi ekstrim kiri atau kanan di luar kelompoknya.

Oke, kembali lagi ke ngopi, sampai di sini kita masuk ke dalam permasalahan yang sama.

Apa benar yang kita minum itu hanya kopi semata? Atau apa benar yang kita minum itu kopi, dan bukannya kelas sosial atau kebudayaan itu sendiri?

Seno Gumira Ajidarma (2008) menyebutkan bahwa yang namanya kebudayaan itu bukan hanya “pameran lukisan”, tapi ngopi pun juga merupakan sebuah kebudayaan 2. Karena di dalamnya bukan hanya soal selera tapi juga soal pilihan dan citra diri. Kopi bukanlah sekedar kopi. Kopi bukan hanya caffeine, kopi telah menjadi makna.

Saya sendiri lebih melihat para manusia yang betah nongkrong di coffee shop sebenarnya bukan meminum kopi. Mereka meminum makna.

Mengapa pula mereka lebih memilih ngopi di Starbucks berjam-jam, dan bukannya ngopi di warkop?

Bukankah kalau memang cuma mau ngopi, di warkop juga sama saja? Bahkan kalau di warkop bisa ngopi plus main catur dan kalau Anda lapar bisa sambil pesan mie rebus.

Kita ngopi di coffee shop untuk menunjukkan bahwa kebudayaan kita berbeda dengan orang lain yang hanya ngopi di warkop.

Kita ingin menunjukkan bahwa kita yang suka ngopi di coffee shop itu lebih berbudaya daripada yang cuma nyruput kopi sachet di rumah.

Nah, ternyata untuk bisa dibilang “berbudaya” itu mudah. Cukup dengan ngopi saja~


  1. Jean Baudrillard, The Consumer Society; Myths and Structures, London: Sage, 1998 ↩︎

  2. Seno Gumira Ajidarma, Kentut Kosmopolitan, Depok: Koekoesan, 2008 ↩︎