Generasi Open-minded
Suatu dadu, akan terlihat berbeda oleh orang-orang yang melihat dari sudut pandang yang berlainan.
Jika di hadapanku adalah angka tiga, sedang kamu melihat angka lima, kita tahu bahwa kita berdua benar dan yakin dengan apa yang kita lihat. Dadu di hadapan kita adalah bukti nyata dari kebenaran itu. Hingga pada suatu waktu, pertanyaan, βAngka berapa yang kamu lihat?β diutarakan.
Keyakinan kita melantangkan suara atas apa yang kita yakini benar. Pun jika kita menyadari bahwa ego tidak akan membawa kita kemana-mana, dan pada akhirnya salah satu dari kita membungkam untuk mengalah, tetap saja rasanya ada yang salah, bukan? Mengalah hanya untuk menghentikan perdebatan. Bukan untuk menyelesaikan masalah.
Kita sama-sama benar. Tapi apakah kita menggiring satu sama lain untuk menunjukkan sisi benar yang kita lihat? Maka, berhenti sajalah. Berhenti dalam permainan saling menyalahkan.
Lebih dari sebuah dadu, kesan sebuah kata pun tidaklah sederhana. Seperti βmaafβ, misalnya. Ada yang beranggapan bahwa terlalu banyak mengucapkan maaf adalah hal yang wajar. Bahkan untuk kesalahan kecil sekali pun. Baginya, salah adalah salah. Berapa pun ukuran kesalahan tersebut, secara spontan ia akan mengucap maaf untuk kesalahan yang ia rasa lakukan.
Ada pula yang beranggapan sebaliknya. Entah karena itu berarti menjatuhkan nilai kata maaf itu sendiri, atau pun seperti orang yang meminta agar seseorang meminta maaf kepadanya. Keduanya bukanlah masalah.
Di tingkat yang lebih tinggi, perbedaan sikap dan perilaku akan sesuatu juga bisa menjadi masalah. Yang juga, sebenarnya bukan masalah jika kita tidak memberikan pandangan apa-apa. Atau setidaknya, tidak mengutarakannya.
Pikiran manusia mungkin sesuatu yang sangat magis yang pernah diciptakan. Perbedaan pandangan dan menyuarakannya, adalah apa yang menimbulkan pertentangan. Maka, sebagaimana pandangan kita tidak selamanya dapat tersampaikan dan diterima oleh orang lain, tidak semua pandangan pun harus kita koreksi hanya untuk kepuasan dalam pembenaran.
Memang benar adanya. Sebagian hal baiknya dibiarkan saja. Toh, apa yang seseorang pandang sepenuhnya adalah haknya. Dan tidak semua hal perlu ditanggapi, terlebih tanggapan yang dilakukan hanya untuk melakukan pembenaran. Karena, seperti yang mereka bilang, seseorang yang sudah tenang di dalam dirinya, tidak berhutang untuk penjelasan apa pun kepada siapa pun.
Baginya, apa yang ia lakukan adalah kebenaran yang iya yakini. Walaupun pada saat yang bersamaan, lingkungannya mencaci. Tapi ia memiliki alasan tersendiri (yang mungkin tidak diketahui oleh lingkungannya) dalam setiap tindakannya. Itu yang penting.
Di dunia ini, tidak ada yang benar-benar mutlak. Tidak sepenuhnya benar adalah benar. Pun dengan salah.
Akhirnya aku mengerti, bagaimana kata dan perbuatan dapat menyakiti hanya karena perbedaan sudut pandang yang membaca atau mengucapkannya.
Hidup sudah terlalu rumit untuk kita definisikan satu per satu. Pada sakit yang entah mengapa, sering kita menyalahkan rasa peduli sebagai penyebabnya. Mungkin, perlu disadari bahwa walaupun peduli itu ada, kita tidak bertanggungjawab atas apa yang ia lakukan. Bahwa seseorang merasakan sakit dan senang adalah suatu bentuk dari kebebasannya. Jiwa dan ragamu sendirilah yang benar-benar harus kamu pedulikan. Bukan hal yang asing untuk kita menemukan setan pada diri seseorang. Dan lupa, bahwa kita, juga manusia yang memiliki setan dalam diri masing-masing.
Tanpa sadar, seseorang membimbingku untuk lebih hidup pada momen-momen yang kelak akan menjadi memori. Untuk seada-adanya ada. Semoga kedamaian selalu ada di dalam hati kita semua. Semoga bahagia bisa menyertai kita semua. Semoga sebelum kita sampai menanggapi apa yang menyakiti, kita bisa lebih memilih kata agar tidak menyakitinya kembali. Sampai bertemu, di lain waktu.