Mumpung Ramadhan

Deen Al-Islam

Sujiwo Tejo seolah menggugat, “Apa enaknya berpuasa bareng-bareng? Aku berpuasa, kau, dan dia, juga mereka, pun kalian, kita semua berpuasa pada hari dan bulan yang sama,” ujarnya.

Yang Sujiwo Tejo maksud adalah berpuasa di Bulan Suci Ramadhan. Lalu, yang semakin tidak ia mengerti, orang-orang bangun dan makan sahur pada jam-jam yang nyaris serentak. Dan lebih absurd lagi, Tejo bilang, “lalu kita mengadakan acara berbuka puasa bersama.”

“Aku lebih suka berpuasa seorang diri. Orang-orang tetap makan dan minum, dan aku tidak. Bahkan, ketika itu aku berada di antara mereka. Ini puasa yang asyik,” kata dalang yang juga pemain saksofon dan komposer itu, dalam majelis Suluk Maleman di Rumah Adab Mulia Indonesia, di Pati, Jawa Tengah, 13 Juni malam lalu. Baginya, dan bagi orang-orang yang merasakan hal yang sama, Bulan Suci Ramadhan justru menjelma bulan makan-minum teratur. Bulan konsumtif, bulan ketika grafik inflasi meningkat hingga lebaran.

Sujiwo Tejo yang ke mana-mana kini suka melantangkan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an di luar pakem Qira’atul Sab’ah ini lebih suka jika bahkan tidak ada yang tahu dirinya sedang berpuasa. Atau berpuasa dengan godaan yang komplit: aneka santapan boleh tetap di meja makan, warung-warung leluasa buka, kehidupan malam dibiarkan apa adanya, dan orang-orang tak perlu tiba-tiba berakting diri mereka beriman.

Tidak hanya itu. Sujiwo Tejo menaruh kecurigaan: jangan-jangan berpuasa di luar Ramadhan lebih baik dari berpuasa di Bulan Suci yang penuh berkah ini. Ya, Allah memang berjanji akan memberi rahmat pada sepuluh hari pertama, ampunan pada sepuluh hari kedua, dan perlindungan dari api neraka pada sepuluh hari ketiga. Belum termasuk anugerah Lailatul Qadar yang bahkan nilainya lebih baik dari seribu bulan.

Sujiwo Tejo, yang musikus dan penulis itu, memang terbiasa dengan ritme. Tak ayal, ia menduga Bulan Suci Ramadhan semacam interval atau spasi atau jeda dari sebelas bulan lainnya dalam satu tahun berjalan. Tapi, pandangannya itu sesungguhnya segendang-seperiangan dengan petuah para kiai. Yakni jadikan ibadah di Bulan Suci Ramadhan serupa latihan yang keras sebelum kita benar-benar berlaga sebelas bulan ke depan.

Namun, apa jadinya jika orang-orang yang berpuasa di Bulan Suci Ramadhan menuntut untuk dihormati oleh orang-orang yang tidak berpuasa? Sebelas bulan ke depan, apa jadinya jika giliran mereka yang tidak berpuasa? Akankah mereka menghormati orang lain yang berpuasa? Ataukah egosentris ini cuma di Bulan Suci Ramadhan? Bukankah saling menghormati lebih baik daripada saling tidak menghormati?

Tentu, tema obrolan meluas jika lantas mulai membanding-bandingkan. Hari Raya Nyepi di Bali, misalnya, berlaku secara umum bagi siapa pun. Tak hanya umat Hindu, siapa pun yang pada hari itu berada di Pulau Dewata diwajibkan untuk patigeni atau tidak menyalakan pelita. Bali gelap gulita. Bahkan bandar udara internasional Ngurah Rai sampai ditutup. Tapi hanya sehari, bayangkan jika itu berlangsung satu bulan penuh.

Bayangkan jika warung, resto, kafe, dan tempat makan-minum lainnya, serta toko-toko sembako, ditutup total satu bulan penuh. Bayangkan Bulan Suci Ramadhan benar-benar menjelma bulan untuk merasakan lapar dan dahaga. Kita makan-minum seadanya. Bukan justru jadwal makan menjadi teratur, menu menjadi lengkap, dan yang tidak ada pada sebelas bulan lainnya menjadi harus ada di Bulan Suci Ramadhan.

Jika berpuasa Ramadhan dimaknai sebagai menahan lapar dan haus, maka kita akan memperlihatkan wujud asli setelah adzan maghrib berkumandang. Kita melahap apa pun demi membayar rasa lapar dan haus seharian. Semacam balas dendam. Bulan Suci Ramadhan menjelma sebagai bulan aji mumpung. Mumpung Ramadhan, ini harus ada, itu harus tersedia. Toh cuma sebulan dalam setahun. Tidak sepanjang tahun.

Berpuasa seharusnya lebih tentang menahan makan-minum tentu juga menahan hawa nafsu lain, termasuk hubungan badan suami-istri. Bukan menahan lapar dan dahaga. Sebab, kita justru diminta merasakan lapar dahaga yang dialami fakir miskin dan anak yatim piatu. Jika tidak begitu, wajar jika tingkat konsumsi justru naik bahkan paling tinggi dalam setahun di bulan yang semestinya paling hemat ini.

Bulan Suci Ramadhan juga bukan cuma mengenai kewajiban berpuasa. Banyak sunnah lainnya. Dua di antaranya ialah sahur dan berbuka puasa. Maka, tidak perlu mencemooh mereka yang masih sebatas ikut-ikutan sahur dan berbuka puasa. Tidak/ belum mendapat pahala dari ibadah wajib, setidaknya mendapat pahala melalui ibadah sunnah. Semoga Allah kemudian memberinya hidayah dan kekuatan untuk berpuasa penuh.

Alangkah indah jika kita jadikan Bulan Suci Ramadhan sebagai bulan bahagia. Akur, rukun, damai. Tidak memaksakan kehendak antara yang satu dan yang lain. Tidak memaki, tidak pula merusak. Tidak merazia, tidak pula menghardik. Dalam Hadits Qudsi, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Puasa itu perisai. Jika sedang berpuasa, jangan kalian mengucapkan kata-kata kotor dan jangan pula berbuat bodoh.”

Masih dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari itu, diserukan,”Jika ada yang mencela dan mengganggu, ucapkan: saya sedang berpuasa.” Kalimatnya sungguh jelas, yaitu: “Saya sedang berpuasa.” Tidak perlu kita tambah-tambahi menjadi kalimat baru, yaitu: “Hormati saya yang sedang berpuasa.” Sebab, puasa bukanlah untuk mencari penghormatan dari sesama manusia.

Terlebih, dalam Hadits Qudsi lainnya yang juga diriwayatkan oleh Bukhari, dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Seluruh amal anak Adam adalah untuknya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya, puasa itu untukKu dan Aku akan membalasnya.” Jadi, puasa wajib di Bulan Suci Ramadhan maupun puasa sunnah di sebelas bulan lainnya, tidak perlu menjadikan kita merasa lebih benar dan suci dari orang lain.


Oleh Candra Malik (praktisi Tasawuf yang bergiat di bidang kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan.) Dipublikasikan di Koran Tempo edisi 18 Juni 2015